Laut China Selatan kembali menjadi sorotan dunia internasional di tahun 2025. Kawasan strategis yang sejak lama diperebutkan oleh sejumlah negara ini mengalami eskalasi ketegangan baru, menyusul peningkatan aktivitas militer, penolakan terhadap klaim wilayah, serta insiden di laut yang melibatkan kapal penjaga pantai dan militer.
Konflik ini tidak hanya menyangkut kepentingan wilayah dan sumber daya alam, tetapi juga menjadi medan pertarungan pengaruh geopolitik antara Cina, negara-negara ASEAN, dan kekuatan besar seperti Amerika Serikat.
📍 Latar Belakang Konflik
Laut China Selatan mencakup jalur pelayaran internasional yang mengangkut lebih dari 30% perdagangan global setiap tahun. Kawasan ini kaya akan:
-
Minyak dan gas bumi
-
Sumber daya perikanan
-
Kepulauan strategis seperti Spratly dan Paracel
Cina mengklaim hampir seluruh wilayah tersebut berdasarkan “nine-dash line”, sebuah batas yang tidak diakui secara internasional. Klaim ini tumpang tindih dengan klaim dari negara-negara seperti:
-
Vietnam
-
Filipina
-
Malaysia
-
Brunei
-
Taiwan
Pada 2016, Mahkamah Arbitrase Internasional di Den Haag memutuskan bahwa klaim Cina tidak memiliki dasar hukum, tetapi Beijing menolak putusan tersebut.
🚨 Eskalasi Terkini di 2025
Dalam beberapa bulan terakhir, sejumlah kejadian telah memperparah situasi:
⚠️ 1. Insiden Filipina–Cina
Filipina melaporkan bahwa kapal penjaga pantainya dihalangi dan disemprot meriam air oleh kapal Cina saat melakukan misi pasokan di Second Thomas Shoal, wilayah yang diklaim Manila.
Presiden Filipina memperkuat kerja sama militer dengan Amerika Serikat, termasuk penempatan pasukan rotasional dan latihan militer gabungan di wilayah barat Filipina.
⚠️ 2. Vietnam Perkuat Kehadiran Laut
Vietnam meningkatkan patroli angkatan lautnya di sekitar Kepulauan Spratly, terutama setelah laporan bahwa kapal riset Cina beroperasi tanpa izin di zona ekonomi eksklusif (ZEE) mereka.
Pemerintah Hanoi juga memperkuat kerja sama maritim dengan Jepang dan India, sebagai bentuk penyeimbang regional terhadap dominasi Cina.
⚠️ 3. Latihan Militer Cina
Cina menggelar latihan militer besar-besaran di Laut China Selatan, termasuk peluncuran rudal anti-kapal dari kapal perang dan simulasi pendaratan amfibi di pulau buatan yang telah mereka bangun sejak 2014.
Latihan ini dianggap provokatif oleh negara-negara tetangga dan memicu protes diplomatik dari beberapa anggota ASEAN.
🛰️ Peran Kekuatan Global: AS dan Sekutu
Amerika Serikat tetap konsisten menjalankan operasi Freedom of Navigation (FONOP), mengirim kapal perang dekat pulau yang diklaim Cina untuk menegaskan bahwa wilayah tersebut adalah perairan internasional.
Selain itu:
-
Australia dan Inggris turut berpartisipasi dalam patroli multinasional
-
Jepang memperkuat dukungan militer situs rajazeus terbaru untuk negara ASEAN yang bersengketa
-
India menjalin latihan militer gabungan dengan Filipina dan Vietnam
Washington menganggap Laut China Selatan sebagai bagian dari strategi Indo-Pasifik bebas dan terbuka, dan tidak akan membiarkan hegemoni Cina mendominasi kawasan.
📊 Dampak Regional dan Global
💣 Ketegangan Militer
Meningkatnya patroli militer dan insiden di laut meningkatkan risiko konflik terbuka yang tidak disengaja. Beberapa analis menyebutnya sebagai situasi “titik nyala” baru di Asia Timur.
⚓ Gangguan Jalur Perdagangan
Laut China Selatan adalah rute perdagangan utama dunia. Konflik laut china selatan yang memburuk bisa mengganggu logistik global dan pasokan energi, terutama bagi negara-negara Asia dan Eropa.
🌐 Polarisasi Diplomatik
ASEAN kini berada dalam posisi sulit—harus menyeimbangkan antara menjaga hubungan dagang dengan Cina dan mempertahankan kedaulatan wilayah. Beberapa negara lebih vokal (Filipina, Vietnam), sementara lainnya cenderung netral.
🔍 Upaya Penyelesaian dan Jalan ke Depan
Meski eskalasi terus meningkat, jalur diplomatik belum sepenuhnya tertutup. Upaya yang sedang digencarkan:
-
Kode Etik Laut China Selatan (COC) yang dinegosiasikan antara ASEAN dan Cina—meski masih tarik ulur soal isi dan penerapannya
-
Dialog multilateral di forum seperti ASEAN Regional Forum (ARF) dan East Asia Summit
-
Keterlibatan PBB dan hukum laut internasional untuk menekan penyelesaian damai
Namun, keberhasilan diplomasi bergantung pada kemauan politik semua pihak untuk menghindari konflik terbuka dan menghormati hukum internasional.
BACA JUGA: Breaking News 2025: Perang Dagang Teknologi 6G dan Skandal Terbesar Sepanjang Tahun